-->

Teenager: (source: curvemag.com)
Anak muda zaman sekarang hidup dalam suasana yang penuh dengan media. Jika tidak musik, ya film. Jika tidak film, ya HP atau game. Jika tidak HP, ya TV. Sepuluh tahun terakhir ini remaja dimonopoli komputer. Mereka main game, internet, chatting. Bisa-bisa ini semua membuat remaja bisa tidak pindah dari depan komputer sampai pagi. Koran dan buku tersingkir. Toh kalau mereka butuh informasi, mereka bisa mendapatkannya dengan mudah lewat Google. Mau tidak mau, kondisi ini mempengaruhi hubungan-hubungan dalam keluarga.

Musik dan Televisi 

Rasanya sulit memisahkan musik dari televisi. Walaupun televisi tidak hanya menayangkan musik, tetapi sebagian besar remaja menonton musik dan filmnya. Menurut penelitian rata-rata remaja menghabiskan waktu di depan TV untuk menonton siaran MTV, selama 10 jam seminggu, sedangkan mereka hanya 1,4 jam seminggu berada di gereja.  Robert Pittman, mantan presiden dan direktur eksekutif kepala MTV pernah berkomentar, “Sudah sejak awalnya, kami sudah membuat keputusan yang bulat bahwa kami harus menjadi suara kawula muda Amerika. Kami tidak hanya membangun sebuah saluran program TV. Kami membangun sebuah kebudayaan!”
Coba perhatikan sebuah klip lagu yang ditayangkan MTV. Perhatikan musiknya, syair lagunya, gaya penyanyi utama dan penari latar, juga kostum mereka. Apa yang muncul dalam perasaan Anda ketika pertama kali menonton klip tersebut? Waktu kemudian tayangan yang sama diulang, bagaimana rasanya?
Beberapa kali saya dengar anak saya mempelajari lagu ”Cinta Ini Membunuhku ” dengan gitarnya. Barulah beberapa waktu lalu saya menyimak syairnya dengan sungguh-sungguh sambil mengantar anak ke sekolah. Josephus (15 tahun) dan Moze (11 tahun) mengikuti nada dan kalimat yang keluar dari radio di mobil.

kau membuat kuberantakan
kau membuat ku tak karuan
kau membuat ku tak berdaya
kau menolakku acuhkan diriku

bagaimana caranya untuk
meruntuhkan kerasnya hatimu
kusadari ku tak sempurna
ku tak seperti yang kau inginkan

[reff]
kau hancurkan aku dengan sikapmu
tak sadarkah kau telah menyakitiku
lelah hati ini meyakinkanmu
cinta ini membunuhku

Dalam hati, saya ingin bilang ke anak-anak demikian, ”Apa sih yang kalian sukai dari lagu ini? Nadanya saja tidak memberi semangat, cengeng; apalagi kata-katanya!” Tapi saya menahan diri. Soalnya, saya tidak mau malah berdebat dengan anak-anak di saat mereka mau ke sekolah.
Jadi, saya ikutan nyanyi: Kau membuat kuberantakan .... cinta ini membunuhku ...
Langsung, Jo berkomentar, ”Gitu dong, Ma. Kalau dengar lagu, kita harus dengar dengan HATI, bukan dengan AKAL-BUDI!”
Wah, statement apa pula ini? Apa ya bisa kita memisahkan hati dengan akal-budi? Saya harus tanya lebih lanjut, jangan-jangan persepsi Josephus dan saya soal hati dan akal-budi, berbeda. Kalimat Jo di atas saya tanggapi demikian, ”Soalnya Jo, mama sedang mencari-cari makna positif dari lagu ini. Sambil menyanyi, mama berpikir, apakah ada kalimat atau kata atau nada yang bisa membangkitkan semangat mama atau mama pedomani hari ini.”
”Pokoknya kalau dengar lagu, ya dengarkan saja sebagai hiburan, nggak usah dipikirkan kata-katanya. Juga kalau baca buku, nggak usah masukkan di hati isi dan nilai moral/karakternya. Pokoknya jalan ceritanya bagus, ya sudah,” jawab Jo.
Saya mulai menangkap. Mungkin yang Jo maksud adalah ”mendengar dengan rasa”. Tidak perlu menelaah atau mengambil makna dari syairnya. Sayangnya, karena ini perjalanan ke sekolah, waktu kami untuk diskusi terbatas. Tapi saya bertekad menolong anak saya mengerti betapa besar pengaruh musik dan kalimat dalam sebuah lagu/bacaan terhadap cara pandang kita.
Beberapa hari kemudian, lagu ini muncul di televisi. Kebetulan saya, Jo, dan Moze sedang ngobrol di depan TV. Saya bilang ke Jo, ”Menurut mama, ya, pelantun lagu ini egois. Coba deh, kalau ada orang bilang sama kamu: kau membuatku berantakan, tak karuan, kau menyakiti hatiku dengan sikapmu ... kamu marah, nggak?”
Karena dia diam, saya melanjutkan, ”Mama sih percaya, kalau nanti cintamu ditolak oleh seorang cewek, kau akan bersikap obyektif atau introspeksi. Tapi kan yang mendengar lagu ini bukan hanya kamu. Ada jutaan orang lain, yang akhirnya bisa saja terprovokasi oleh kata-kata lagu ini. Apalagi kalau harga diri orang itu rendah. Nah, dia bisa menyalahkan orang lain atas hidupnya yang berantakan.”
Moze langsung menyela, ”Ih... abang, mulai mikirin cewek nih yaaaa....”
”Enggaklah,” tukas Jo, ”aku kan mau pacaran sekali saja. Kalau bisa sih ...”
Saya tertawa. ”Iyalah. Semua orang akan tiba saatnya jatuh cinta. Itu normal. Kamu juga nanti, Moze. Tapi mama bangga lho, sama abang. Cowok keren itu punya prinsip dan tujuan hidup!”
Anak-anak kita setiap hari dibombardir dengan berbagai informasi. Ada yang baik dan benar. Tapi menurut saya, kebanyakan informasi harus disaring dan diperjelas. Dalam hal ini waktu berkualitas saja tidaklah cukup. Anak-anak juga membutuhkan waktu, ide, dan skill komunikasi dari orang tuanya. Informasi yang sudah pernah didapat, hendaknya terus-menerus diteguhkan dalam hati mereka, sampai menjadi nilai yang mereka pegang dalam hidup nantinya.

Musik yang Sehat

Tidak bisa dipungkiri, pengaruh musik dalam kehidupan remaja demikian besar. Apakah remaja Anda termasuk anak yang suka belajar sambil mendengarkan musik? Kalau lagu klasik masih masuk akal. Tapi kadang-kadang saya berpikir, bagaimana mungkin kita menghafal pelajaran dengan lagu dan irama yang menghentak-hentak?
Lagu-lagu semacam Peterpan, Ungu, Slank, dsb, berhasil memasuki kehidupan remaja karena musik ini berhasil memenuhi tiga kebutuhan dasar kaum muda, yaitu:
a. Menjadi teman bagi kaum muda. Seringkali syairnya cocok dengan persoalan remaja. Mungkin mereka sedang jatuh cinta atau patah hati, kesal pada seseorang.
b. Para pemusik ini menerima kaum muda, apa pun latar belakang mereka. Secara psikologis mereka mengerti bahwa remaja mempunyai kebutuhan besar untuk diterima. Syair lagu mereka bercerita tentang kehidupan riel kaum muda.
c. Musik semacam ini membantu kaum muda memperoleh identifikasi diri.

Dengan ditemani, diterima dan memperoleh pengakuan, musik pop sekuler dan sejenisnya telah melayani kebutuhan kaum muda dengan baik. Tetapi masalah utama anak muda adalah mereka tidak terbiasa mendengar musik dan syair yang sehat.
Musik yang baik dan membangun tidak hanya ditentukan oleh melodi/nada, tetapi juga pada syair. Tidak sedikit lagu rohani punya melodi bagus tapi syair buruk. Sebaliknya ada lagu yang syairnya baik, tetapi melodinya tidak menarik. Penting juga kita menyajikan kepada anak-anak musik yang sesuai dengan umurnya. Sejak kecil anak diperkenalkan dengan musik klasik dan gospel yang baik.
Lagu yang membangun umumnya ditulis dengan pergumulan dan latar belakang tertentu yang tidak mudah. Umumnya lagu-lagu hymne yang bertahan ratusan tahun ditulis dengan situasi demikian. Bukan sekedar motif mencari untung dan popularitas. Lagu dan musik yang membangun antara lain bercirikan:
a. Dilandasi pemahaman teologi yang dalam, namun mudah dimengerti serta mendorong kita taat. Lagu ini umumnya lahir dalam proses waktu yang panjang.
b. Kekuatan musiknya membuat remaja mengagumi Tuhan dan rindu mengikuti Dia, termasuk membuat kita menyadari kekudusan-Nya, dan ingin meninggalkan dosa.
c. Mendorong anak rajin belajar dan berperilaku baik. Oleh karena itu kita perlu mengajari anak nyanyian yang menekankan etika kehidupan Kristen. Misal lagu: Selamatkanlah Waktumu, Hitung Berkat, dsb.
d. Membangun kesadaran pentingnya persaudaraan manusia. Banyak musik yang hanya menekankan pujian-penyembahan, sangat egois dan terpusat pada “aku”. Lagu-lagu demikian hanya memuaskan diri sendiri, namun tidak memberi kesadaran pentingnya persekutuan dan etika kehidupan. Perhatikanlah banyak sekali lagu yang hanya menekankan: aku dan Tuhan. Lagu-lagu ini justru membawa kita dan anak-anak hidup egois dan memikirkan diri sendiri. Akhirnya lagu tersebut tidak berkuasa melakukan perubahan apa-apa.


Komputer

Kita sungguh bersyukur dengan adanya teknologi komputer. Ini adalah anugerah besar bagi manusia Abad Ke-21. Komputer menyebabkan dunia terasa demikian sempit. Kita tidak perlu ke mana-mana untuk menjalankan usaha. Cukup pakai website, internet, email. Kita tidak perlu waktu berhari-hari untuk mengirimkan surat. Semuanya serba cepat dan mudah. Yang menjadi tidak gampang adalah jika remaja kita sudah terikat pada komputer dan teknologinya.
Tak seorang pun bisa membendung teknologi. Dia akan terus berkembang, makin hari makin canggih, dan akan membentuk komunitas tersendiri. Namun, pengaruh teknologi dan informasi juga akan mengubah gaya hidup keluarga kita. Coba perhatikan bagaimana remaja kita mengisi waktu mereka (di luar belajar, tentunya) dewasa ini? Umumnya kalau tidak di depan TV, berhadapan dengan komputer, game atau handphone. Sebagian mungkin ada yang main musik. Masih ada yang duduk-duduk ngobrol dengan papa, mama dan saudara lainnya?
Jika remaja kita mulai nampak bergantung pada teknologi komputer ini, saatnyalah orang tua bertindak. Kita perlu mewaspadai, banyak game anak menonjolkan unsur kekerasan. Akibatnya mereka menganggap kekerasan itu adalah hal yang biasa. Selain itu dunia maya membuat anak bisa menciptakan dunianya sendiri di dalam komputer. Dia menjadi enggan mau bergaul dengan teman-teman, berkomunikasi dengan keluarga, atau bepergian bersama orang tua. Game telah menjadi sahabat baiknya.
Tetapi, Martin Elvis  dalam salah satu seminarnya menegaskan ada lima hal besar yang tidak bisa dilakukan oleh media terhadap anak-anak kita:
a. Media tidak dapat menyebut nama, tidak mempunyai perhatian secara pribadi, anak kita dianggap sebagai konsumer. Inilah kesempatan kita, anak kita adalah satu pribadi yang unik, kita bisa memanggil namanya, memperhatikan dia, menatap matanya, berkomunikasi secara pribadi dengan dia.
b. Media tidak dapat memangku anak kita.
c. Media tidak bisa memeluk anak kita, tidak bisa membacakan buku cerita sebelum tidur.
d. Media tidak pernah mendengarkan anak kita. Kita diberikan anugerah untuk bisa mendengarkan curhat anak kita.
e. Media tidak bisa menaikkan anak ke tempat tidur lalu mengajaknya berdoa.

Hati-hati jika anak terlalu banyak menonton televisi atau game. Jika remaja kita suka main video game, komik, televisi, ia gampang terpengaruh. Akibatnya dia kehilangan fokus pada hal-hal yang bersifat teks, seperti pelajaran sejarah, matematika, dan lain-lain. Tontonan televisi misalnya, sangat membuat perhatian anak mudah teralihkan dari satu isu ke isu lainnya karena banyaknya intervensi iklan di dalam setiap film. Jika seorang anak sudah terbiasa main game atau menonton terlalu lama, ketika guru meminta dia membaca buku teks, dia akan cepat mengantuk karena tidak menarik. Dia sudah terbiasa dengan gambar bergerak.
Penelitian terbaru dari Glasglow University Inggris menemukan bahwa rutinitas menonton televisi sebanyak dua jam sehari atau lebih dapat memicu asma.  Menurut laporan, pola bernafas yang berasosiasi dengan kebiasaan duduk yang terus menerus mengarah pada gangguan paru-paru dan nafas anak-anak. Ditemukan bahwa 6 persen anak-anak tanpa gejala asma pada awalnya ketika usia 12 tumbuh dengan gejala asma. Pada anak dengan frekuensi menonton lebih dari 2 jam sehari gejala asma ditemui dua kali lipatnya.
Menurut Martin Elvis , game dan film kekerasan telah melenyapkan empati dalam diri anak kita. Media seperti video game dan digital game justru bermuatan agresivitas yang hanya menciptakan kecerdasan destruktif. Perasaan empati lenyap di dalam dunia game yang cenderung mengutamakan kecepatan, rasionalitas dan ketepatan.
Hal penting lainnya adalah jangan sampai anak terlalu lama bermain game. Sejak anak mulai mengenal game komputer (juga jenis game lain: playstation, nitendo wii, gameboy, dsb) orang tua harus menunjukkan otoritas. Buatlah kesepakatan ”syarat dan ketentuan” dengan anak berapa lama mereka boleh bermain game. Intinya, batasi. Jika sejak awal kita konsisten dengan hal ini, saat mereka remaja nanti negosiasi bisa dilakukan. Tapi kalau dari kecil tidak ada batasan, orang tua akan kewalahan ketika anak masuk usia remaja.
Untuk tetap memberlakukan otoritas orang tua ada harga yang harus kita bayar. Di antaranya menyediakan waktu terbaik kita untuk menemani anak-anak. Beri waktu berkomunikasi dan bermain bersama remaja kita. Kita bisa main catur, halma, ular tangga, monopoli, dan sebagainya. Baik juga mengajak anak berolahraga atau main musik. Komunikasi seperti ini dapat menjadi hiburan pengganti yang menyenangkan anak, dan lebih membantu pertumbuhan emosi anak. Daripada membiarkan remaja berlama-lama di depan televisi atau komputer, sediakanlah waktu Anda bermain dengan mereka.
Yang terpenting dalam membina remaja adalah menanamkan nilai. Kalau anak-anak kita sudah punya batasan yang benar dari Firman Tuhan, maka dia bisa membedakan yang benar dari yang salah, terutama saat dia menghadapi banjirnya informasi media audiovisual yang sangat menggoda.

Tips
Menolong Remaja Menggunakan Media Secara Sehat

1. Latihlah anak menghargai figur otoritas sejak mereka kecil.
2. Kenalkan batasan bermain dari awal: waktu, jenis game, film, komik. Tetapkan ”syarat dan kondisi” main. Awasi jika anak mulai menampakkan tanda-tanda terlalu banyak main.
3. Jangan bertindak reaktif, melainkan tanamkan nilai-nilai kebenaran sejak mereka kecil lewat ngobrol, cerita, dan persekutuan keluarga.
4. Biasakanlah bermain bersama anak. Ini akan mendekatkan Anda dengan anak dan membuat mereka menghargai otoritas kita sebagai orang tua. Sedapat mungkin, temani mereka menonton TV dan mendiskusikannya.
5. Biasakan anak menyanyikan lagu yang sehat dan membangun jiwa.
6. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, usahakan anak bermain di rumah, bukan di warnet.

Judul Mengenalkan dan Mengontrol Remaja Menggunakan Media
Author
Author Rating
4/ 5 Suara Dari 1201 Ulasan

0 Tanggapan:

Post a Comment

Warning!
1. Dilarang komentar diluar topik (OOT) Out Of Topik
2. Dilarang menyisipkan link mati atau link hidup
3. Komentar yang tidak disukai admin akan di hapus

 
Top